Posted by : irfan
Rabu, 27 Maret 2013
Penyebab pemanasan global
Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari.
Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek,
termasuk cahaya tampak. Ketika
energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas
yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas
dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud
radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa
luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat
menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air,
karbon dioksida, sulfur
dioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini.
Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang
dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di
permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan
suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah
kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di
atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang
ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin.
Dengan suhu rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih
panas 33 °C (59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada efek rumah kaca
suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan
Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan
di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.
Efek umpan balik
Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai
proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada
penguapan air.
Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2,
pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang
menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca,
pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara
sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah
kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2
sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut
di udara, kelembapan
relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara
menjadi menghangat).[3]
Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2
memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang
menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan
memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan
meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan
tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke
angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya
menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa
detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut.
Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain
karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara
batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km
untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat).
Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila
dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah
pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC
ke Empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan
cahaya (albedo)
oleh es.[4]
Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair
dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es
tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun
air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila
dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi
Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak
lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4
dari melunaknya tanah beku (permafrost)
adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain
itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga
menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia
menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona
mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom
daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon
yang rendah.[5]
Variasi Matahari
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Variasi Matahari
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan
kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi
kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6]
Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca
adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer
sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan
stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7]
yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor
utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan
ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi
penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi
Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah
memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950,
serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi
Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuwan
dari Duke University memperkirakan bahwa Matahari mungkin telah
berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata global selama
periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10]
Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan
pedoman saat ini membuat perkiraan berlebihan terhadap efek gas-gas
rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga
mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol
sulfat juga telah dipandang remeh.[11]
Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan
sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar
pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh
gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Jerman dan
Swiss
menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat
"keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus
Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat
"keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk
berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13]
Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada
hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun
1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam
sinar kosmis.[14]
Mengukur pemanasan global
Pada awal 1896, para ilmuwan beranggapan bahwa membakar bahan bakar
fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu
rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para
peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International
Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna
Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi
karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus
diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa
memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di
atmosfer.
Para ilmuwan juga telah lama menduga bahwa iklim global
semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti
yang tepat. Suhu terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi
yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk
memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend)
yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan
kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya
sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Stasiun
cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga
pengukuran suhu akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh
bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material
bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca
yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit.
Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70
persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih
akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi
benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa
sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah
tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan
1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa suhu udara
global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak
1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh
aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC
memprediksi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun
1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di
atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus
menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan
sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus
tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[15]
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi,
konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali
lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri.
Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun
sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali
sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan
risiko populasi yang sangat besar.
Model iklim
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Model
iklim global
Para ilmuwan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan
model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida,
transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa
penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model
ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada
iklim yang lebih hangat.[16]
Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas
rumah kaca pada masa depan, sensitivitas
iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas
rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun
1990 dan 2100.[1]
Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab
perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan
yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab,
baik alami maupun aktivitas manusia.
Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan
perubahan suhu global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir,
tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim.[17]
Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang
terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau
aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak
tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim pada masa
depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya
dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC.
Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi
terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan
umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk
skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2).
Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.[18][19][20]
Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan
ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun
sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini.[21]
Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai
apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak
langsung dari variasi Matahari.
Dampak pemanasan global
Para ilmuwan menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi,
dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan
model tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan mengenai
dampak pemanasan global terhadap cuaca,
tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian,
kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Iklim mulai tidak stabil
Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah
bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan
memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung
es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang
terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya
mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada
pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin
sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang
di beberapa area. Suhu pada musim
dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembap karena lebih banyak air yang
menguap dari lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin apakah kelembapan
tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih
jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air
merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan
meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang
lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan
memantulkan cahaya Matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan
(lihat siklus air). Kelembapan yang tinggi akan meningkatkan curah
hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat
Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat
sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22].
Badai
akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari
tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari
sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola
yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya
dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan
pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan
terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.
Peningkatan permukaan laut
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan
menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi
permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub,
terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di
laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 -
10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuwan IPCC memprediksi
peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di
daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen
daerah Belanda,
17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari
tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan
mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di
daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar
untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin
mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi
ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh
dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi
tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka
laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida
Everglades.
Suhu global cenderung meningkat
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan
lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak
sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada,
sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya
curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian
tropis semi kering di beberapa bagian Afrika
mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air
irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack
(kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami,
akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan
hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
Gangguan ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari
efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia.
Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub
atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya,
mencari daerah baru karena habitat
lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan
menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara
atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian
mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat
berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
Dampak sosial dan politik
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke)
dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen
sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi.
Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat
mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan
kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan
perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi,
defisiensi
mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran
penyakit melalui air (Waterborne
diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor
(vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam
Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem)
baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim
ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus,
bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang
target nya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan
bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun
punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga
akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak
kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang
/ kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai
juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease.
Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak
terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit
saluran pernapasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis,
penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
Perdebatan tentang pemanasan global
Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan
global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah suhu benar-benar
meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi
tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang
keadaan pada masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah
bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan
global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan
suhu. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan
dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung
menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi
model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada
iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada
pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali
pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20
hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer,
lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan
tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari
tiga pertanyaan tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan
partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke
atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol,
memantulkan sebagian sinar Matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan
berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya
kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang
diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para
ilmuwan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data
untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and
Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisis baru
tentang suhu air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama
50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya
kecenderungan pemanasan: suhu laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi
0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada suhu rata-rata 50
tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.[22]
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih
sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut
beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan
pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada
bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy
of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan
permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran
troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan
secara jelas.
Pengendalian pemanasan global
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen
per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan
saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global pada masa depan.
Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil
melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim pada
masa depan.
Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah
pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah
masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di
pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara,
seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan
tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum
dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara
perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat
yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas
rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan
menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara
ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua,
mengurangi produksi gas rumah kaca.
Menghilangkan karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara
adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih
banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya,
menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui
fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di
seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah
mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh
kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika
diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau
pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan
penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya
gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya
dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak
untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced
Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi
gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau
aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan
pengeboran lepas pantai Norwegia,
dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan
bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer
sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan
bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18.
Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi
dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak
bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai
biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren
penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah
mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas
melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak
apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian,
penggunaan energi terbaharui dan energi
nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi
nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya
yang berbahaya, tetapi tidak melepas karbon dioksida sama sekali.
Persetujuan internasional
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Protokol Kyoto
Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan
gas-gas rumah kaca. Pada tahun 1992, pada Earth Summit
di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi
masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam
suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang,
160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38
negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam
melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5
persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai
paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan
yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di
bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih
keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara
lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam
pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika
Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa
perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang
sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara
berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida
ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara
industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas
rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu
berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan
untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16
Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika
perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi
bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan
yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara
berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan
separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini
memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak,
industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya
tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa
biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat
menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi.
Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan
hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta
dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke
peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya
dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan
tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai
contoh, Belanda,
negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil
mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya
dalam mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto
bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum
terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib
diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca.
Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program
pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak
polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh,
negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat
membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang
lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila
sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan
emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil
memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada
dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri
lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
Posting Komentar